Cari Blog Ini

Kamis, 20 April 2017

508

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Lagi-lagi, pekatnya malam mengundang tarian sajak,
Membangun lamunan nan dalam,
Mengendapkan rindu yang kian jauh dari kata sembuh.

Dari salah satu kamar di lantai 5 sebuah hotel di Kota Palembang, malam kian sayup. Hening semakin membening, kala bising tersapu dalu yang menghantar kantuk menjadi lelap. Dan aku, ntah kenapa merasa ingin menuliskan sesuatu.

Ini merupakan hari ke-empat sejak hari Senin lalu aku meninggalkan rumah. Minggat? Oww...tenang, bukan gitu sist. Hehe. Aku masuk dalam daftar peserta sebuah pelatihan tentang kemampuan berkomunikasi. Ini merupakan hal yang menarik bagiku. Mempelajari bagaimana tipe-tipe karakter orang berdasarkan teori DISC (Dominan, Intim, Stabil, dan Cermat), bahwa setiap orang berbeda-beda dan cara menghadapinya pun berbeda-beda pula. Yang menjadi hal penting ialah kita harus pandai menempatkan diri sebagai pihak yang mampu beradaptasi. Mau tau?
Boleh dong berbagi ilmunya? 😊
Menurut Dr. William M. Marston, penemu DISC, “Setiap individu memiliki empat faktor perilaku dengan berbagai tingkat intensitasnya”.


Empat faktor yang dimaksud ialah Dominan, Intim, Stabil dan Cermat.
1.       Dominan
Hal yang disukai orang yang dominan ialah kontrol situasi ada padanya. Yang menjadi kekuatannya ialah visioner, sikap kepemimpinan dan keteguhan diri. Namun orang-orang Dominan ini cenderung kurang sabar, kurang sensitif dan pendengar yang buruk. Soal membuat keputusan, dia paling jago.
2.       Intim
Orang-orang yang tergolong ke dalam ini sangat senang apabila dihargai. Ia jago mempengaruhi, antusias dan menyenangkan. Eits, namun orang-orang ini cenderung kurang teliti, mudah terdistrak dan kurang pandai memantau. Ia tidak suka aktivitas yang rutin dan situasi yang ruwet. Cenderung spontan dalam membuat keputusan.
3.       Stabil
Orang-orang yang termasuk kelompok Stabil menyukai penerimaan. Ia paling pandai mendengarkan, membangun team work, dan menyelesaikan masalah. Namun di samping itu, ia cenderung terlampau sensitif, lamban dan kurang menyukai perubahan. Ia tidak menyukai ketidakpedulian dan orang-orang yang kurang sabar. Cara pengambilan keputusannya cenderung bijak, yakni dengan bermusyawarah.
4.       Cermat
Si Cermat ini menuntut keakuratan informasi yang diterimanya. Yang menjadi keunggulan orang-orang dalam kelompok ini ialah merupakan perencana yang baik, melakukan sesuatu  secara sistematis, dan pandai mengelola. Sisi kurang baiknya, orang-orang ini cenderung perfeksionis, kritis dan kurang responsif. Ia tidak menyukai ketidakteraturan dan kondisi yang tidak semestinya (tidak sesuai harapannya). Mekanisme pengambilan keputusannya melalui berdasarkan metode sistematis.

Itu dulu informasi mengenai komunikasinya, ya. Harap maklum, mata udah sayu cuy.. hehe. Mudah-mudahan bermanfaat ya sist-bro.. 😊
Tips sukses dari narasumber pelatihan ini, di antaranya:
1.     Tentukan tujuan dan target;
2.     Susun rencana;
3.     Beritahu rencana kepada orang-orang yang penting dalam pencapaian tujuan;
4.     Upayakan;
5.     Berdo’a dengan YAKIN kepada Allah. Jangan sampai kita seperti memesan makanan melalui layanan delivery, lebih yakin makanannya sampai daripada terkabulnya do’a. Bukankah Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya?
6.     Be Positive. Kenapa? Aura yang kita pancarkan, itulah yang akan kita peroleh. Buktikan!
7.     Management stress dengan cara menentukan prioritas, pengelolaan waktu dan penataan pikiran.

Sekian dulu... Hoam...

Izinkan daku hantikan sejenak langkah jemari. Insya Allah akan bersua lagi nanti. Semoga engkau tak segera rindu. Hehe

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh. 😊


Rabu, 29 Maret 2017

Setia

Setia baru ku rasai
Suka tak suka, aku tetap setia
Bagaimana tidak?
Lima dari tujuh hari yang ku miliki, ku dedikasikan untuk mengantar kepulanganmu...
Ini bukan soal keluh kesah,
Bukan pula soal hati yang mulai jengah...
Ini tentang persembahan peluh untuk sebuah keluarga yang teduh.

Menatap engkau di penghujung ufuk,
Melayang sudah khayalku kepada berkilo-kilo jarak di sana
Ah... Aku rindu mereka...
A.36.

Menatap engkau di tepian hari,
Menyadarkan ku, satu hari sudah berkurang umurku...
Apa yang telah aku perbuat?
Semoga peluh ini bermanfaat...

Ah, senja...
Rona-mu kerap menyemarakkan rasaku....
Bak mega bernuansa kelabu, tersapu malam sebab kepergianmu...

Setiaku padamu, matahari terbenam...

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lama tak corat-coret di laman ini...

Menunggang punggung sang malam, izinkan aku sejenak menggurat ceritera...
Anggap saja penghantar tidurmu, saudara/i-ku... ^^


Tentang setiaku kepada Sang Matahari Terbenam. Ini bermula semenjak aku (alhamdulillah) diberikan jalan rezeki melalui penerimaan pegawai tetap pada salah satu badan hukum publik. Bahagia? Oh...., tentu. Terharu? Ohh..., iya pastinya. Bersyukur, ayah-ibu dan segenap keluarga sangat bersyukur untuk hal membahagiakan ini. Bukan tanpa alasan ataupun berlebihan. Ini karena di antara deretan cucu dari kakek-nenek baik dari silsilah ayah maupun ibu, aku merupakan cucu kedua yang memperoleh gelar sarjana dan sekaligus tak lama kemudian menjadi cucu kedua yang (dianggap) segera mapan. Itu setelah kakak sepupuku, yang sedari kecil telah membuat ku terpana sekaligus diam-diam mengaguminya. Sejak 2012 silam beliau telah menjadi karyawan pada sebuah BUMN, tak lama setelah menamatkan pendidikan diplomanya. Itu merupakan anugerah terbesar perdana bagi keluarga besar kami. 

Kembali, air mata haru terurai kedua kalinya, setelah aku dinyatakan lulus seleksi sebagai calon pegawai sebuah badan hukum publik di negeri ini pada penghujung tahun 2014 silam. Kebahagiaan perdana bagi ayah dan ibu, juga adik-adik. Ini pengalaman pertamaku memasuki dunia kerja, setelah selama kurang lebih 3 bulan menganggur, hehehe. Sejak itu, aku sangat merasa terharu. Apalagi menangkap gurat syukur dan haru itu terpancar jelas pada binar kedua mata ayah dan ibu. Bahagia rasanya, syukur tak terhingga, ketika  untuk pertama kalinya aku menerima upah. Ntah bagaimana melukiskan perasaanku yang berampur-campur saat itu. Masih tak percaya, aku dapat memberi untuk ayah dan ibu dari hasil peluhku sendiri. Aku menangis manakala untuk pertama kalinya, untuk iuran semester pertama adikku yang baru masuk kuliah, aku membayarkannya dari hasil jerih payahku. Allah... Karuniaaa-Mu begitu besar... Begitu tak terhingganya syukurku, Alhamdulillah...
Kini semakin senang, aku dapat membant membiayai kuliah dua orang adikku. Ada semacam getaran hati, terharu, setidaknya di usia senja ayah dan ibu, aku dapat meringankan beban mereka... Aku dapat memberikan manfaat untuk masa depan kedua adikku.

Hari ini, setiaku masih sama...
Kepada matahari terbenam, mengawal kepulangannya ke peraduan, disaksikan senja...
Seiring memudarnya rona merah di ufuk itu, seiring itu pula menenggelamkan aku kepada sebuah lamunan...
Usiaku kini sudah dapat dikatakan siap.
Satu per satu undangan pernikahan berdatangan, dari teman-teman sebaya-ku...
Naluriyah, hatiku bergeming.
Tak terelakkan, "Kapan giliranku?"

Bukan tiada yang menawarkan niat baik, orangnya pun baik...
Beberapa pemuda yang "nyangkut" di hati, meminta ku untuk mengakhiri pekerjaanku.
Niat baik mereka terbentur pada ketiadaan penerimaanku akan syarat yang mereka pinta. Dan penerimaanku terbentur pada kondisi hidup.
Bukan tak beralasan, ayahku seorang PNS berusia 57 tahun, tahun depan insya Allah akan pensiun. Ibuku seorang Housewife. Adikku ada tiga. Adik pertama, sedang memperjuangkan hidup pasca S1-nya. Adik kedua dan adik ketiga, tengah memperjuangkan masa depan mereka di bangku kuliah, masih sekitar 2-3 tahun lagi. Naluriku sebagai anak sulung, ku genggam semua tanggung jawab itu, kendati belum semuanya dapat ku atasi. Terpikirkan untuk bersiap-siap, mana tahu "harus" menggantikan peran ayah suatu ketika. Oh ya, aku hanya mempunyai seorang saudara laki-laki, adikku yang kedua. 

Pernah dan hingga kini masih terpikirkan untuk "undur diri" dari pekerjaan yang sekarang, yang menjadikan ku setia kepada matahari senja... Mengapa?
Karena aku membayangkan bagaimana kelak anaka-anak dan suamiku? Membayangkan betapa kurang terurusnya mereka nanti apabila hidup dengan pendamping dan ibu yang setia menghantar kepulangan matahari senja.. Ah, menyedihkan sekali... :'(

Namun di sisi lain, mengangan kembali bayangan kisah susah ayah dan ibu sedari dulu, bahkan hingga kini. Sejak kecil sudah harus jauh dari orang tua serta sanak saudara, berjuang sendiri-sendiri demi menyambung hidup setidaknya masih dapat merasakan "hari esok". Ayah yang dengan kekurangan fisiknya (maaf, pincang-red), sejak SMP sudah merantau jauh demi melanjutkan pendidikan. Tujuannya semata untuk memperbaiki hidup. Tak ada yang membiayai, kecuali jejak-jejak kaki pincangnya yang ke sana ke mari mengais rupiah dari kerja serabutan di kota: menyemir sepatu, atau menjadi kuli angkut. Masih terkenang jua kisah ayah yang setiap hari acap kali ditagih uang SPP karena menunggak tak mampu membayar, bahkan sudah terancam dikeluarkan. Hidup ayah sangat tak mudah. Kondisi ini setidaknya berlangsung hingga ayah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang PNS di sebuah desa terpencil bernamakan Pematang Panggang. Masa setelahnya belum dapat dikatakan mudah. Menghidupi kami keempat anaknya dari gaji seorang PNS berijazah SMA, aku rasa sangat tak mudah. Mana lagi aku dan adikku kuliah hampir bersamaan. Kendati dibantu beasiswa, tak jarang aku pilu mengetahui ayah pinjam sana sini demi tercukupinya kebutuhan pendidikan kami. Sementara ibu, hidupnya memang tak se-ektrim ayah, namun berlatar belakang keluarga yang tak jauh berbeda. Dilahirkan dari ayah seorang tukang kayu dan ibu seorang pedagang kecil, berhasil menghantarkan ibu menamatkan pendidikan di Pendidikan Guru Agama Negeri Kota Palembang. 

Pada suatu malam beberapa pekan yang lalu, di rumah hanya ada aku, ayah, ibu dan seorang adikki. Ayah mengeluhkan nyeri pada bagian kakinya yang (maaf, pincang-red). Namun seperti biasanya, ayah enggan merepotkan. Beliau tak meminta sesiapa pun untuk meringankan nyerinya. Diselingi sebuah masalah komunikasi dengan salah seorang adikku, tangisan ayah pun pecah. Sontak aku menghambur kepada ayah. Ku raih kakinya yang sempat dikeluhkan sakit, aku pijet-pijet sambil ku seka air mata yang kian menderas. Tak lama tangis ibu pun menyusul. Disela tangisnya, ayah mengeluhkan masa senjanya yang ia khawatirkan akan tidak sesuai harapannya. Kian deras tangisan ayah, kian mengencang tekadku untuk mengurungkan niat "undur diri". Aku jadi bertekad untuk membahaagiakan ayah, tak tinggal juga ibu dan adik-adikku.

Menjadi istri dan ibu yang baik, sekaligus menjadi anak yang "tetap" sesuai harapan orang tua, dapatkah aku?
Segenap bimbang memenuhi hati dan pikiranku  akan hal ini...
Dua hal yang sesungguhnya sama sekali bukan pilihan, tapi merupakan satu kebutuhan yang utuh.

Menjadi istri yang shalihah adalah ambisiku...
Namun menjadi anak yang shalihah adalah impianku sedari kecil...
Dan saat ini, aku berharap agar keduanya dapat aku jalani dengan baik...

Adakah yang mau menerima ku dengan segala kondisi ini?
Adakah yang bersedia mempersunting seorang gadis dengan segala latar belakang ini, dan bertekad membangun latar depan daripada hidupnya bersama mu?

Tolong, bawa serta ayah dan ibuku dalam kebahagiaan "kita"...

(Keluh kelamnya malam, 30 Maret 2017)
sariana.c.s.g@gmail.com