Di masa lalu,
Ayah menemaniku tidur di
sepanjang malam
Dan beliau harus selalu siaga,
karena sewaktu-waktu aku akan terbangun, lalu minta ditemani ke WC..
Antar jemput ke TK, itu biasa
ayah lakukan untukku. Tiap kali mengantarkan ku di depan pintu kelas, ayah
selalu menanyakan: “Ayuk pengen dibelikan apo? Kagek ayah belikan.. “
Ayah juga selalu berpesan sebelum
beliau benar-benar meninggalkan ku di dekat pintu: “Kagek kalu lah balek, ayuk
diam-diam lah di sini yo. Kagek ayah jemput. Jangan ke mano-mano.”
Aku tahu dan aku sadar, kondisi
fisik ayahku tak sesempurna ayah anak-anak yang lain. Berbagai kalimat ejekan
dari teman-teman tentang ketidaksempurnaan ayah, sudah tak asing lagi
bagiku ketika itu. Dan saat pertama kali
mendapat ejekan itu, sempat ku tanyakan kepada ibu, mengapa kondisi ayah
begitu, mengapa aku tak mendapatkan seorang ayah yang sempurna seperti ayahnya
teman-teman yang sering ku lihat. Lalu ibu menjawab: “Sudah dari Tuhan.. Itu
lah ayahnyo ayuk. Ayuk harus bersyukur..” Aku yang belum mampu mengerti, hanya
melongo… Tapi haru ini membuncah tiap kali ku kenangkan, betapa ayah berusaha
untuk menyenangkan aku sewaktu itu, bahkan hingga kini.
Sedih, tiap kali ku curi pandang
wajah ayah. Begitu banyak kerutan yang terukir di dahinya, gambaran kerasnya ia
berpikir. Dan aku yakin, sebagian besar pikirannya ialah tentang masa depan
kami: para anaknya. Namun tetap saja, wajah itu nampak kokoh dihiasi tulang
rahang yang sangat jelas menonjol sebagai saksi perjuangan hidup yang telah
mengikis sedikit demi sedikit daging yang dulu membalut tulang itu. Dan kini
ayah, matamu sudah mulai sayu.. Perbanyak lah beristirahat.. biarkan aku
mempersiapkan diri untuk menggantikanmu mengemudikan kereta perjuangan hidup
ini…
Dan mengenai IBU…
Di masa lalu,
Ketika usiaku kira-kira beranjak
setahun, aku kerap kali mengusik ibu saat sedang mencuci pakaian
Itu karena aku sangat suka
bermain air..
Dan saat itu ibu melarangku.
Bukan karena ibu tak memperbolehkan aku bermain, melainkan karena ibu begitu
takut aku terkena masuk angin… Kala aku terkena demam, ibu lah orang yang
paling sibuk: menjagaku, mengompres dahiku, menyuapiku, membelai kepalaku,
mengelap tubuhku.
Tak banyak yang dapat ku nikmati
bersama ibu di masa ku kecil. Masa kecilku memang tak dapat sepenuhnya ku
nikmati dalam dekap manja seorang ibu, karena kala itu adik-adikku masih sangat
kecil: yang nomor 3 masih balita dan yang bungsu masih bayi. Namun satu hal
yang sangat aku ingat, ibu lah orang yang paling cemas ketika aku terlambat pulang
sekolah atau karena ayah terlambat menjemputku dari TK. Hingga kini pun begitu,
ibu adalah orang yang paling cemas ketika aku terlambat pulang ke rumah.
Masih lekat terkenang oleh ku..
Ketika itu, waktu pulang sekolah,
hujan turun begitu derasnya. Tanpa diminta, ibu datang ke sekolah dalam keadaan
setengah basah bahkan hampir basah kuyup, hanya untuk mengantarkan payung untuk
aku dan adikku: Maretalinia,
agar kami tak kehujanan. Bukan hanya itu saja, jika ada perlengkapan sekolah
kami yang tertinggal di rumah, ibu akan segera mengantarkannya ke sekolah,
lagi-lagi tanpa diminta. Dan mungkin kalian sulit percaya, hal seperti ini
berlangsung hingga masa SMA-ku…. Karena hal inilah, aku kerap kali dijuluki si
anak manja. Ejekan ini tak jarang membuat ku memarahi ibu ketika ku dapati
beliau menjemput ku ataupun mengantarkan perlengkapan sekolahku. Aku malu
diejek oleh teman-teman. Namun, kini ku sadari, betapa beruntungnya aku
memiliki seorang ibu yang rela melakukan itu semua: hal yang belum tentu
bersedia dilakukan oleh ibu-ibu lainnya.
Ibu… Sama seperti ayah, wajahmu
menyiratkan bahwa tak seharusnya lagi engkau merasakan kerasnya hidup. Harusnya
aku telah mampu mengambil kemudi dari tanganmu. Namun dengan berat hati, jujur
ku akui, aku belum lah sanggup.. Aku masih butuh banyak bimbingan darimu…
Ini HANYALAH sekelumit kisah
sederhana dari penggalan-penggalan hidupku bersama ayah dan ibu, yang sempat ku
nikmati dalam tulisan kehendak-Nya.
Ayah…
Ibu…
Saat ini, mungkin aku belum dapat
membahagiakan kalian. Tapi senyuman kalian cukuplah menjadi pembakar semangatku
untuk senantiasa tak jemu berusaha agar kelak dapat mewujudkan harapan yang
kalian miliki. Berlembar-lembar puisi indah tak kan mampu menggambarkan betapa
berharganya kalian bagiku dan di hatiku. Namun untuk saat ini, yang mampu ku
persembahkan kepada kalian hanyalah seutas senyuman beriringkan do’a:
“Rabbighfirli waliwalidayya
warhamhuma kama rabbayanii saghiiraa…” Aamiin
Terima kasih untuk semua kasih
yang telah kalian kasih kepada kami… Uhibbukum fillah.. ^_^