Cari Blog Ini

Sabtu, 06 Oktober 2012

TERKENANG MASA LALU



Di masa lalu,
Ayah menemaniku tidur di sepanjang malam
Dan beliau harus selalu siaga, karena sewaktu-waktu aku akan terbangun, lalu minta ditemani ke WC..
Antar jemput ke TK, itu biasa ayah lakukan untukku. Tiap kali mengantarkan ku di depan pintu kelas, ayah selalu menanyakan: “Ayuk pengen dibelikan apo? Kagek ayah belikan.. “
Ayah juga selalu berpesan sebelum beliau benar-benar meninggalkan ku di dekat pintu: “Kagek kalu lah balek, ayuk diam-diam lah di sini yo. Kagek ayah jemput. Jangan ke mano-mano.”
Aku tahu dan aku sadar, kondisi fisik ayahku tak sesempurna ayah anak-anak yang lain. Berbagai kalimat ejekan dari teman-teman tentang ketidaksempurnaan ayah, sudah tak asing lagi bagiku  ketika itu. Dan saat pertama kali mendapat ejekan itu, sempat ku tanyakan kepada ibu, mengapa kondisi ayah begitu, mengapa aku tak mendapatkan seorang ayah yang sempurna seperti ayahnya teman-teman yang sering ku lihat. Lalu ibu menjawab: “Sudah dari Tuhan.. Itu lah ayahnyo ayuk. Ayuk harus bersyukur..” Aku yang belum mampu mengerti, hanya melongo… Tapi haru ini membuncah tiap kali ku kenangkan, betapa ayah berusaha untuk menyenangkan aku sewaktu itu, bahkan hingga kini.
Sedih, tiap kali ku curi pandang wajah ayah. Begitu banyak kerutan yang terukir di dahinya, gambaran kerasnya ia berpikir. Dan aku yakin, sebagian besar pikirannya ialah tentang masa depan kami: para anaknya. Namun tetap saja, wajah itu nampak kokoh dihiasi tulang rahang yang sangat jelas menonjol sebagai saksi perjuangan hidup yang telah mengikis sedikit demi sedikit daging yang dulu membalut tulang itu. Dan kini ayah, matamu sudah mulai sayu.. Perbanyak lah beristirahat.. biarkan aku mempersiapkan diri untuk menggantikanmu mengemudikan kereta perjuangan hidup ini…  

Dan mengenai IBU…
Di masa lalu,
Ketika usiaku kira-kira beranjak setahun, aku kerap kali mengusik ibu saat sedang mencuci pakaian
Itu karena aku sangat suka bermain air..
Dan saat itu ibu melarangku. Bukan karena ibu tak memperbolehkan aku bermain, melainkan karena  ibu  begitu takut aku terkena masuk angin… Kala aku terkena demam, ibu lah orang yang paling sibuk: menjagaku, mengompres dahiku, menyuapiku, membelai kepalaku, mengelap tubuhku.
Tak banyak yang dapat ku nikmati bersama ibu di masa ku kecil. Masa kecilku memang tak dapat sepenuhnya ku nikmati dalam dekap manja seorang ibu, karena kala itu adik-adikku masih sangat kecil: yang nomor 3 masih balita dan yang bungsu masih bayi. Namun satu hal yang sangat aku ingat, ibu lah orang yang paling cemas ketika aku terlambat pulang sekolah atau karena ayah terlambat menjemputku dari TK. Hingga kini pun begitu, ibu adalah orang yang paling cemas ketika aku terlambat pulang ke rumah.

Masih lekat terkenang oleh ku..
Ketika itu, waktu pulang sekolah, hujan turun begitu derasnya. Tanpa diminta, ibu datang ke sekolah dalam keadaan setengah basah bahkan hampir basah kuyup, hanya untuk mengantarkan payung untuk aku dan adikku: Maretalinia, agar kami tak kehujanan. Bukan hanya itu saja, jika ada perlengkapan sekolah kami yang tertinggal di rumah, ibu akan segera mengantarkannya ke sekolah, lagi-lagi tanpa diminta. Dan mungkin kalian sulit percaya, hal seperti ini berlangsung hingga masa SMA-ku…. Karena hal inilah, aku kerap kali dijuluki si anak manja. Ejekan ini tak jarang membuat ku memarahi ibu ketika ku dapati beliau menjemput ku ataupun mengantarkan perlengkapan sekolahku. Aku malu diejek oleh teman-teman. Namun, kini ku sadari, betapa beruntungnya aku memiliki seorang ibu yang rela melakukan itu semua: hal yang belum tentu bersedia dilakukan oleh ibu-ibu lainnya.
Ibu… Sama seperti ayah, wajahmu menyiratkan bahwa tak seharusnya lagi engkau merasakan kerasnya hidup. Harusnya aku telah mampu mengambil kemudi dari tanganmu. Namun dengan berat hati, jujur ku akui, aku belum lah sanggup.. Aku masih butuh banyak bimbingan darimu…

Ini HANYALAH sekelumit kisah sederhana dari penggalan-penggalan hidupku bersama ayah dan ibu, yang sempat ku nikmati dalam tulisan kehendak-Nya.

Ayah…
Ibu…
Saat ini, mungkin aku belum dapat membahagiakan kalian. Tapi senyuman kalian cukuplah menjadi pembakar semangatku untuk senantiasa tak jemu berusaha agar kelak dapat mewujudkan harapan yang kalian miliki. Berlembar-lembar puisi indah tak kan mampu menggambarkan betapa berharganya kalian bagiku dan di hatiku. Namun untuk saat ini, yang mampu ku persembahkan kepada kalian hanyalah seutas senyuman beriringkan do’a:
“Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayanii saghiiraa…” Aamiin

Terima kasih untuk semua kasih yang telah kalian kasih kepada kami… Uhibbukum fillah.. ^_^