Cari Blog Ini

Kamis, 18 Agustus 2022

Semangat Itu Mereka Yang Tularkan



Manusia hidup dengan berbagai ujian. Tak selamanya perjalanan hidup mulus. Ada kala aral rintangan menghadang. Saat kita hidup berkecukupan, di sisi lain banyak Saudara kita yang sangat membutuhkan uluran tangan serta do'a. Banyak fenomena alam yang menjelma musibah bagi sebagian Saudara kita, baik sebab ulah tangan manusia maupun fenomena alamiah. Banjir, gunung meletus, kabut asap, kebakaran, kelaparan, dan masih banyak lagi. Sekitar tahun 2012, sebuah organisasi mahasiswa kedaerahan bernama Keluarga Mahasiswa Ogan Ilir (KMOI), mengenalkanku dengan berbagai macam keterlibatan kegiatan kemanusiaan. Selain mencakup pembinaan generasi muda di daerah kami, juga menjadi wadah kami untuk berperan membantu warga daerah Ogan Ilir yang sedang tertimpa bencana. Beberapa kegiatan kemanusiaan yang pernah kami lakukan ialah terjun ke jalan, menggalang dana bantuan untuk meringankan beban para korban kebakaran di Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir. Penduduknya rata-rata bekerja sebagai petani dan pedagang kecil. Kondisi rumah yang terbuat dari kayu dan papan membuat api dengan ganas melahap rumah-rumah malang di sana. Beberapa rumah hangus terbakar. Champ penampungan sementara pun didirikan. Ratap tangis keluarga para korban menghiasi pemandangan kala tim kami meninjau lokasi kebakaran ini. Harta benda penopang hidup, musnah seketika. Membunuh harapan yang mereka susun dan rencanakan sejak lama. Sedih? Tentu saja. Menjadi bagian dari hamparan relawan yang turun ke jalan guna memungut receh dari para pengendara dan pejalan kaki, sekaligus menyadarkanku bahwa mencari uang sungguh bukanlah perkara mudah. Berjam-jam mondar mandir di bawah terik matahari yang menyengat, lutut dan betis rasanya ngilu, namun uang yang terkumpul baru hitungan ribu. Lantas bagaimana pula para korban kebakaran itu? Tentunya mereka pun telah sekian lama bersusah payah bersabar menyusun masa depan lewat seribu dua ribu yang dikumpulkan per harinya. Seketika semuanya lenyap dilahap si jago merah yang kian menyala, memadamkan nyala asa yang telah mereka bangun sedari lama. Pilu sekali menyaksikannya. Namun alhamdulillah, hasil penggalangan dana yang berhasil dihimpun serta disalurkan langsung oleh perwakilan tim kami, setidaknya dapat membangkitkan harapan para korban beserta keluarga. Ada nyala yang menggelayuti mata sendu di tenda pengungsian. Ada semangat yang kembali bangkit perlahan, kala menyaksikan anak-anak kecil di sana tetap riang bermain. Pada mereka, harapan masa depan keluarga dan bangsa. Masih bersama KMOI, pernah juga melibatkan diri menyambangi korban kebakaran di Desa Tanjung Dayang. Terparah, rumah ini dihuni oleh seorang teman yang baru beberapa waktu ditinggal cahaya rumahnya. Malang tak dapat dielak, kini keluarga ini juga harus menghadapi bencana kehilangan harta benda. Kami menggalang dana kembali. Ada pedih yang turut mengaliri rasa di hati, tatkala menyaksikan keluarga ini menceritakan kronologi kejadian dengan air mata yang menganak sungai. Namun tahukah kawan, mata yang sedang basah di hadapan kami telah berhasil melalui ujian dari Allah. Ketabahan dan tawakalnya mereka, menyadarkan kami bahwa merekalah hamba-hamba yang kuat. Bahkan kejadian ini yang bagi kami begitu menyayat hati pun, mereka dapat lalui dengan keikhlasan. Pernah juga berkesempatan turut serta dalam kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan di beberapa desa terpencil. Air muka mereka seketika cerah ketika menyadari bahwa kami memperhatikan keberadaan mereka. Mereka yang jarang terjamah program penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan gratis. Banyak pembelajaran hidup yang dapat kami petik dari berbagai kegiatan kemanusiaan, terkhusus bagi diriku. Tak hanya belajar memuliakan manusia, merangkul yang susah, namun juga bagaimana mensyukuri segala yang kita punya. Termasuk kekuatan dalam menerima takdir kehidupan. Yang terpenting dan yang selalu diajarkan oleh para korban bencana ialah selalu ikhlas dengan ketentuan Allah. Belajar tak harus mengalami, namun bisa juga dari pengalaman hidup orang lain yang kita ilhami. Tetap ikhlas dengan segala takdir Allah, merupakan kekuatan menghadapi kondisi sulit sekalipun. Dari pengalaman aksi-aksi kemanusiaan, aku menyadari bahwa kebermanfaatan kita bagi orang lain merupakan sumber kepuasan dan semangat tersendiri. "Khairunnas anfauhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain)".

Rabu, 27 Februari 2019

Cinta 2.195,6 Km










Bertemankan uap udara yang kian mendesak
Ku saksikan awan gelap berhias kerlip lampu
Dari kamar di ketinggian 11

Aku yg menggigil berbalut rindu
Mengadu kepada bayang semu wajahmu
Semakin jelas ulas senyummu, semakin menderu pula hatiku

Angin sudah pelan berbisik, menidurkan malam yang kian lelap.
Sementara aku masih terpekur
Ada yg membuatku terjaga di kejauhan sana.

Dari sini ku ukirkan,
Untuk mu kekasih hatiku..

I love you from 2.195,6 Km.

(Makassar-Palembang, 26 Februari 2019, 23:16 WITA)

Selasa, 22 Januari 2019

Halal Story: Mitsaqan Ghalizha



        Tiga Puluh Desember Tahun Dua Ribu Delapan Belas, Pukul 08.45 WIB, ikrar suci perjanjian maha dahsyat yang menggetarkan Arsy-Nya itu terjadi: Mitsaqan Ghalizha. "Saya terima nikahnya dengan mas kawin yang tersebut, tunai". Semenjak kalimat itu terlafadz dari lisannya, semua jiwa dan raga ini sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya, sepenuhnya diniatkan untuk menjadi bagian penyempurna hidupnya: suamiku.

Kisah ini berawal dari pada suatu petang pada tanggal 09 Agustus 2018, seorang rekan kerja mengirimkan pesan chat: "Sudah punya calon belum?"

"Belum, kenapa emangya?" tanyaku balik.
"Mau dikenalkan dengan seorang lelaki?"
"Siapa? Anak mana?" Tanyaku memburu.
"Anak Palembang. Adikku".
"Hah? Serius? Adik kandung mbak?"
"Iya, adik kandungku." Jawabnya.

Sejenak aku terbelalak.

"Oh... Dicoba saja dulu, boleh minta biodatanya dulu".
"Oke, insya Allah nanti aku suruh dia bikin biodata ya..."
"Oke".

Percakapan via chat petang itu berakhir sampai di situ saja, sebab kami kembali disibukkan dengan aktivitas kantor.

---

Keesokan harinya...
Sekonyong-konyong seorang perempuan muda, rekan kantorku yang kemarin chat, membawa sebuah amplop cokelat di tangannya. Diserahkannya kilat, agar tak sampai orang lain tahu. Isinya biodata adiknya, katanya. Dan permintaannya, agar dibuka nanti saja ketika di kost. Oke, tak masalah bagiku, supaya lebih khusyu juga pikirku.

"Kalau tak suka, tolong jangan dibuang ya. Cukup dimusnahkan atau dihancurkan menggunakan penghancur kertas. Kalau tak berkenan untuk melanjutkan proses ini, kau tak perlu menyerahkan biodatamu". Begitu pesannya.

Lantas aku jawab, "Terima tak terima, bukan hal yang instan. Yang jelas, kalau aku membaca biodatanya namun dia tak membaca biodataku, tak adil itu namanya. Ta'aruf kan artinya berkenalan, harus dua arah. Insya Allah besok aku serahkan biodataku".

---

Malam harinya, dengan "Bismillah" ku buka amplop cokelat itu dan perlahan membaca biodata sosok lelaki yang bahkan tak ku kenali sebelumnya itu.
Sekedar ku baca, benar. Tak ada rasa apa-apa yang muncul setelahnya. Pengalaman-pengalaman sebelumnya membuat ku tak ingin banyak menaruh harap, hanya tawakaltu 'alallah saja.

Usai ku baca biodata itu, aku persiapkan biodataku untuk diserahkan keesokan harinya.

---

Pagi-pagi sekali, diam-diam ku kemas biodataku agar tak seorang pun rekan kerja yang tahu kecuali hanya antara kami berdua.
Sebelum ku serahkan biodata itu melalui mbaknya, agar terkesan formal tak lupa ku cantumkan "Kepada Tuan Satria Cahya Muhtasyar, M.Si.".

Transaksi pengiriman biodata ini ku lakukan serapi mungkin.
 Usai ku serahkan biodata itu, ku tinggalkan pesan bahwa apabila adiknya selesai membaca biodataku, ku persilakan untuk mengajukan pertanyaan. Sebab sejauh ini tak ada pertanyaanku untuknya, kecuali satu: "Siapkah dia menerima segala kondisiku dengan latar belakang keluarga dan pekerjaanku saat ini?"

Yang kemudian ku peroleh respon dari sana bahwa dia bersedia menerima semuanya, bahkan siap mendukung semaksimal yang ia mampu.

Ternyata, pertanyaan inti dari dia pun hanya satu: "Siapkah aku menerima dirinya dengan segala latar belakang keluarga dan kondisinya yang belum mapan secara pekerjaan."

Tentu saja hal itu bukan masalah bagiku sebab aku yakin Allah telah menjamin rezeki setiap hambanya. Yang penting kami se-visi dulu, itu pikirku.

---

Sekian lama tak ada perkembangan proses ini. Nyaris sebulan, kurang satu pekan lagi. Amplop berisikan biodatanya pun sudah aku arsipkan jauh di dalam kardus.

Pada suatu kesempatan di kantor, mbaknya menanyakan perihal keputusanku. Lantas aku bertanya, "Dari dia selanjutnya gimana? Jujur saja aku belum bisa membawa proses ini kepada ayah dan ibu karena aku saja bahkan belum pernah bertemu orangnya. Bagaimana bisa meyakinkan ayah dan ibu? Informasi dari tulisan jelas perlu di-crosscheck dengan gestur dsb yang hanya bisa disaksikan dengan berinteraksi secara live, bukan?" Tanyaku sembari tersenyum.

"Bagaimana kalau kami ke rumah tanggal 11 September 2018?" Beliau mengajukan penawaran.
"Baik, ditunggu dengan senang hati". Aku menyeringai, masih tak yakin sebenarnya.

---

Malam sebelum mentari tanggal 11 September 2018 terbit, ku kisahkan kepada ayahku bahwasanya keesokan pagi akan ada yang hendak silaturrahim ke rumah untuk berkenalan. Ayah menyambut baik kabar itu.

---

Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan besi biru yang memagari rumah hijau kami. Aku yang tengah duduk menunduk sambil menyimak chat  di handphone, sejenak tercekat ketika seorang perempuan berkerudung panjang berwarna navy menyodorkan tangannya. "Okta..." Dia ternyata adik bungsunya.
Semakin merinding ku rasa ketika rekan kantorku keluar mobil disusul seorang wanita paruh baya yang kemudian diketahui ialah ibu mereka.
Aku terkejut bukan tak beralasan, ku bayangkan mereka akan datang hanya berdua saja. Tak ku sangka seramai ini.
Semakin berdebar rasanya, karena sosok pemuda yang dikenalkan itu belum turun dari tunggangan putihnya itu.

"Deg", ia menampakkan sosoknya. Nampak sekali ia berusaha menjaga pandangannya. Aku pun rasanya tak sanggup menatap wajahnya.

Moment 1 Muharam 1440 Hijriyah itu berlangsung hangat, obrolan yang tercipta bergulir dengan ramah karena serasa tak asing dengan keluarga itu. Sudah seperti keluarga dekat yang sudah lama tak bersua, banyak hal yang diceritakan dengan antusias dan suka cita. Kalaupun ada yang bungkam, itu hanya aku dan dia.

---

Pasca pertemuan pertama itu, aku meminta waktu tempo maksimal 2 pekan untuk mempertimbangkan kelanjutannya. Bukan mengapa, tak mudah untuk menetapkan sebuah fatwa hati sekali seumur hidup. Perihal ini ku sampaikan kepada mbaknya dan dirinya pribadi. Mereka pun menyanggupi dan tak mempermasalahkan.

Selama masa tenggang itu, berbagai informasi dari berbagai sumber  ku kumpulkan untuk membantu pertimbanganku. Sungguh ini bukan perkara mudah. Berhari-hari aku gelisah, tidur tak nyenyak, makan pun tak enak. Banyak hal yang menyita pikiranku terkait proses ini. Banyak pihak yang mendukung, namun banyak pula yang tidak, sebab pekerjaannya yang bagi sebagian besar orang "belum mapan".

Hingga saat ini ayah, yang menjadi kunci keputusanku, belum buka suara. Aku makin bingung. Semakin kencang kegelisahanku, semakin aku ingin sering menunaikan shalat istikharah setiap kali gelisah itu menyerang. Setidaknya perasaan sedikit lebih tenang, kendati belum sepenuhnya.

Kalau istikharah diibaratkan menenggak obat, mungkin aku sudah over dosis. Bayangkan saja, aku melakukannya bisa sampai 4 kali sehari. Semakin aku merasa gamang, semakin aku merasa membutuhkan pegangan akan Allah.


"Wahai Allah, sesungguhnya aku memohon kepada engkau memilih yang baik untukku dengan ilmu engkau, aku memohon kepada engkau untuk menentukannya dengan kekuasaan engkau, dan aku memohon kepada engkau anugerah engkau yang agung, karena sesungguhnya engkau mampu memberi ketentuan sedangkan aku tidak, engkau dapat mengetahuinya, sedangkan aku tidak, dan engkaulah yang maha mengetahui hal-hal yang ghaib. Wahai Allah, jika engkau tahu bahwa perkara ini *(pernikahan antara hamba dengan Satria Cahya Muhtasyar)* baik bagiku, di dalam agamaku, kehidupanku, dan akibatnya, maka tetapkanlah perkara itu untukku dan mudahkanlah itu bagiku kemudian berilah aku keberkahan di dalamnya. Dan jika engkau tau bahwa perkara ini jelek bagiku, didalam agamaku, kehidupanku, dan akibatnya, maka jauhkanlah pekara itu dariku dan jauhkanlah aku darinya dan tetapkanlah untukku kebaikan di manapun adanya, kemudian jadikanlah aku rela kepadanya". 


Do'a itu mewakili semua suara kekhawatiran dalam hatiku. Berulang kali ku ucap. Alhamdulillah, semakin ke sini semakin ada titik terang. Mulai ada keyakinan dalam diri untuk menerima dirinya, hanya saja aku belum begitu yakin. Oleh sebab itu, istikharah masih tetap aku tunaikan hingga betul-betul yakin.

Di samping melakukan istikharah sebagai wujud ikhtiar vertikal kepada Allah, aku juga berkonsultasi dengan mbak-mbak tingkat dan saudara sepupuku yang paham akan proses serupa. Ini sebagai ikhtiar horizontal, mencari informasi pendukung untuk memperkuat keyakinanku. 


Puncaknya pada tanggal 18 September 2018, aku putuskan untuk berbincang dengan ayah perihal keputusanku. Pikirku, kalau ayah merestui, insya Allah lanjut. Namun apabila ayah tak setuju, aku siap meninjau ulang keputusanku. Telah ku konsep untaian kalimat-kalimat untuk menguraikan kepada ayah, agar mudah dipahami dan tidak terjadi kesalahpahaman.

Ba'da shalat Isya, ku telepon ayah. Aku sampaikan kalimat pembuka, bahwa aku hendak membicarakan hal yang serius dengannya. Sayup ku dengar, ada ibu di sisinya. Nafasku berat, kerongkonganku tercekat, gugup setengah mati kali ini. Padahal sekedar ngobrol dengan sosok yang bahkan sangat mengenal dan dikenal sejak lahir.

Tak dinyana dan tak diduga, setelah ku sampaikan perihal keputusanku untuk menerima pemuda ini, ayah menyatakan siap mendukung sepenuhnya keputusanku. Bahkan ayah sampaikan bahwa sejak kunjungan pertama keluarga itu, ayah sudah mendapat semacam firasat bahwa inilah orangnya. Nasihat demi nasihat ayah gulirkan malam itu. Tak tahan aku mendengarnya, usai ku tutup telepon aku menangis tersedu. Begitu aku menyayangi ayah. Sosok yang bahkan memahami aku lebih dari diriku sendiri.


Beberapa saat setelah telepon ditutup, aku putuskan untuk langsung menyampaikan keputusanku kepada pemuda itu dan mbaknya. Ku sampaikan melalui pesan whatsapp. Tak ada balasan.
Aku menarik napas panjang, lega. Lalu bersiap tidur.

---

Keesokan harinya, terlihat ada balasan pesan whatsapp dari kontak SCM (begitu aku menyimpan kontaknya, pun hingga kini).

"Alhamdulillah. Insya Allah tanggal 22 September 2018 ini kami sekeluarga akan ke rumah untuk menyampaikan niat baik."

"Baik, silakan.."

---

Sabtu, tanggal 22 September 2018, sekitar pukul 09.00 WIB, rombongan  keluarga itu tiba. Nuansa hari itu lebih menegangkan bagiku. Sekilas ku lihat wajahnya pun lebih tegang.

Pada kesempatan itu, ditetapkanlah tanggal 30 Desember 2018 sebagai hari akad kami. Rencana terjadinya Mitsaqan Ghalizha.

---

Alhamdulillah, tahapan demi tahapan proses ini Allah berikan kemudahan. Pikirku, mungkin ini jawaban Allah akan istikharahku.

Hari-hari setelah ini berlangsung dan disibukkan dengan persiapan pernikahan. Interaksi antara kami berdua tetap dibatasi, tak ada teleponan, tak ada pertemuan yang hanya berdua. Yang ada hanya chat via whatsapp, membahas hal-hal penting persiapan acara. Kalaupun berjumpa, itu tentunya disertai segenap keluarga dari kami berdua. Ramai, iya.

---

Sampai di sini, aku masih tercekat, masih tak menyangka. Kalau Allah berkehendak, semudah ini prosesnya, tanpa pernah kita duga. Sebelumnya tak pernah ku bayangkan dapat menikah pada tahun 2018 ini. 

Seketika aku merenung, tak ada pengaruhnya harta tahta jabatan, kalau hati sudah Allah pertautkan. 
Aku pun tak pernah membayangkan bahwa ternyata sosok seperti ini yang akan menjadi teman hidup sesurgaku (insya Allah). 

Jujur saja, banyak lelaki yang menunjukkan minat terhadapku. Ada yang mapan, namun kami tak sejalan. Ada yang berniat namun tak punya keberanian, entah apa alasannya. Padahal aku hanya manusia biasa. Dan sosok ini, hal yang membuat ku kagum ialah, keberaniannya menyampaikan niat baik ini: menikah. 

Sosok yang menganggap bahwa aku mempunyai standar kriteria yang tinggi untuk seorang suami lantas tidak berani melamar, bagiku merupakan suatu hinaan halus bahwa aku hanya mementingkan kriteria duniawi. Padahal ketika didalami lebih jauh, mungkin akan menemukan hal yang berbeda dari diriku
---

Sabtu, 27 Oktober 2018, dilaksanakanlah prosesi hantar-hantaran. Ini merupakan adat di lingkungan tempat tinggal kami, di mana pihak calon mempelai laki-laki membawa beragam barang keperluan rumah tangga untuk calon mempelai perempuan.


Satu tahap lagi terlewati, tentunya kami sedikit lebih lega.

---

Persiapan sudah semakin matang, pun aku semakin mengumpulkan ilmu untuk bekal menjadi istri kelak.
Tibalah hari Ahad, 30 Desember 2018. Pagi-pagi sekali, sebelum Subuh aku bangun tidur. Setelah mandi dan berbusana biasa, aku bersiap untuk menunaikan shalat Subuh di kamar pengantin. Tak lupa ibu menyiapkan makanan untuk sarapanku pagi itu. Pasalnya, setelah ini aku belum diperkenankan untuk keluar dari kamar pengantin hingga sah menjadi istri.

Ini hari yang menegangkan tentunya. Ketegangan semakin bergejolak ketika sembari dirias, aku mendengar MC acara menyuarakan kabar bahwa mempelai laki-laki beserta rombongan telah tiba di rumah. Dan Allahu Akbar, aku semakin kencang diburu oleh jantungku sendiri ketika penghulu memulai prosesi akad nikah. Bibir ini tak henti komat kamit, agar Allah mudahkan semuanya.
Masya Allah, nafasku  tercekat ketika kalimat itu dilafadzkan.



"Saya terima nikahnya dengan mas kawin yang tersebut, tunai."



Alhamdulillah, seluruh tubuh rasa bergetar, dada terasa hangat bergemuruh. Sejenak aku terbengong, sudah jadi istri orang kah?

Lalu sesaat kemudian aku tersadarkan oleh panggilan orang di luar kamar, memintaku keluar menemui suamiku.

Masya Allah... Kali pertama menatapnya dengan halal, dia suamiku: Satria Cahya Muhtasyar. Tiada kata yang bisa mewakili perasaanku kala itu. Campur aduk: gugup, haru, bingung, tak percaya, dan syukur tentunya. Ia pun terlihat begitu.

Memasuki prosesi pemasangan cincin nikah, jelas sekali nampak tangannya bergetar hebat. Aku pun merasa masih belum rela untuk menyerahkan tanganku kepadanya. Canggung sekali moment itu kalau diingat-ingat. Ketika memegang tanganku untuk kali pertama itu pun, getar genggaman tangannya pun masih terasa. Ia gugup sekali. Aku pun gugup, tapi ingin sekali tertawa. Usai saling memasangkan cincin, ku cium punggung tangannya untuk pertama kali. Tak dinyana, aku seketika terperanjat. Karena tak sempat ku angkat kepalaku dengan sempurna, tangannya menyentuh kepalaku sembari memanjatkan do'a. Ah, tenteram sekali.

Selanjutnya aku diharuskan menggandeng tangannya. Aduh, itu merupakan hal yang sulit bagiku kala itu. Bukan mengapa, masih terlalu cepat bagiku. Pasti merah sekali wajahku saat itu.

Bahkan saat di pelaminan pun, kami duduk berjauhan sehingga nampak seolah bermusuhan. Karenanya, teman-teman asik menertawakan dari tempat duduk nun jauh di depan kami.

Alhamdulillah, sekarang sudah terbiasa menggandeng tangannya, menggenggam tangannya, dan dirangkul olehnya. Tekadku, membahagiakannya dengan segala kapasitas yang Allah anugerahkan kepada ku. Pun begitu pula dirinya, selalu ingin bahagiakan aku. 
Alhamdulillah 'ala kulli hal. Mohon do'akan agar kami semakin Sakinah Mawaddah Warahmah, semakin Allah barakahi perjalanan pernikahan ini. Aamiin...

---

Kisah ini ku bagikan bukan untuk pamer atau sejenisnya. Ini semata-mata untuk berbagi pengalaman dan hikmah yang ku temukan sepanjang perjalanan proses ini.

Sebelumnya, rasanya sudah pasrah saja. Kecil sekali kemungkinan untuk mempertahankan keinginan memperoleh jodoh melalui jalan ta'aruf, mengingat lingkungan pekerjaan dan keseharianku kini sudah tak sekondusif dulu lagi, sewaktu kuliah.
Berkali-kali jatuh bangun karena salah menaruh harapan: harusnya fokus ke Allah semata.
Oleh sebab itu, sampai kepada puncak jenuh, ku putuskan untuk sepenuhnya pasrah kepada Allah, menikmati hidup sembari memperbaiki diri.

Qadarullah, kalau kita berusaha mempertahankan syari'at Allah, Allah beri kita jalan untuk menuju kebaikan. Dan ini salah satu nikmat yang tak terhingga. Alhamdulillah, Agustus 2018 Allah beri kami kesempatan untuk memulai proses ta'aruf ini. Ta'aruf yang berujung kepada halal.

Tips saja bagi teman-teman yang kini tengah menanti pertemuan dengan jodoh:

Pertama, luruskan niat menikah karena Allah dan terbuka untuk segala kemungkinan jodoh yang Allah pilihkan. Lepaskan segala keegoisan kita sebagai hamba yang sarat akan nafsu duniawi.

Kedua, coba dulu jalani, kenali calon pasangan dengan sepenuh hati tanpa menghakimi ini dan itu di awal. Bagi laki-laki, beranikan diri untuk memulai. Jangan sibuk dengan berbagai prasangka bahwa perempuan tersebut tak akan menerima dan sebagainya. Yakinlah Allah selalu membersamai niat baik kita. Tugas kita sebagai hamba hanya ikhtiar semaksimal mungkin. Perihal hasil, biarkan Allah yang bertindak. Dicoba saja dulu, kalau ditolak berarti harus cari lagi sampai ketemu yang benar-benar jodoh. Kalau diterima, alhamdulillah.

Ketiga, sederhanakan kriteria. Kembali, percayakan kepada Allah untuk memilihkan yang terbaik. Allah Maha Mengetahui yang terbaik sedangkan kita tidak, sebagaimana tercantum dalam do'a istikharah. Karena sejatinya, hal-hal yang baik tak melulu hadir dari pasangan yang berparas rupawan, harta dan pekerjaan yang mapan. Yang terpenting ialah kebaikan akhlak yang mencerminkan kebaikannya dalam beragama.

Keempat, sertakan Allah di setiap prosesnya. Setiap kali informasi mengenai dirinya diperoleh, setiap kali kebimbangan itu muncul dan setiap kali harus membuat keputusan, libatkan Allah. Melalui istikharah salah satunya.

Kelima, setelah secara pribadi merasa informasinya sudah cukup untuk diperkenalkan kepada orang tua, segera persilakan calon tersebut untuk menemui orang tua (bagi perempuan) dan segera niatkan untuk menemui orang tua perempuan (bagi laki-laki). Mengapa? Karena ada beberapa hal yang hanya dapat dikonfirmasi melalui pertemuan langsung: gestur, tata krama, tutur bicara, dsb. Penting untuk melibatkan orang tua, sebagai pihak pertama dalam keluarga yang harus dilibatkan. Sebab, dengan perawatannya sejak kita lahir, orang tua mempunyai firasat dan petunjuk tersendiri mengenai apa-apa yang terbaik untuk anaknya. Bagi perempuan, juga menjadi penting karena peranan ayah yang akan menjadi wali nikahnya. Bagi laki-laki, akan lebih bagus apabila mengajak serta orang tua ketika berkunjung pertama ke rumah si perempuan.

Keenam, setelah orang tua merestui. Segerakan untuk melakukan khitbah. Menentukan tanggal, dsb.

Ketujuh, tetap lakukan istikharah bahkan sampai sah. Karena akan banyak ujian yang membuat gamang. Selain istikharah, juga tak lupa bermunajat kepada Allah agar dimudahkan dan dilancarkan serta diberkahi segala prosesnya. Aamiin.

---

Segera Temukan Halal-mu!
Semangat, Mblo! 😇❤💗